Sunday, September 30, 2012

Border Aruk

Catatan perjalanan kali ini adalah kawasan perbatasan Kalimantan Barat. Perjalanan ini dimulai dari Pontianak sebuah kota yang merupakan ibukota provinsi Kalimantan Barat, kotanya tidak terlalu besar dengan sebagian etnis Cina dan Dayak berkumpul disini. Kota ini mendapat julukan kota Seribu Warung Kopi, dan memang hampir disetiap sudut ruko atau kompleks toko terdapat warung kopi yang setiap hari dipadati pengunjung terutama malam hari dan memang itulah tempat nongkrong yang paling favorit bagi semua kalangan. Fenomena warung kopi ini tidak hanya di Pontianak saja tapi dihampir setiap kabupaten yang saya kunjungi selalu saja banyak warung kopi dan paling diminati dibandingkan dengan tempat makan yang lain. Beruntung kemarin di Pontianak lagi musim durian jadi kita bisa nikmatin durian puas harganyapun murah jika dibanding dengan Jakarta.. Sore hari sekitar pukul 13.00 dimulailah perjalanan menuju ke Kabupaten Sambas yang ditempuh dalam waktu 6 jam, kita hanya istirahat sebentar buat minum kopi jalan lagi dan berhenti di Singkawang untuk makan malam....finally tepat pukul 23.00 sampailah kita di Sambas....
Esoknya baru dimulailah petualangan itu...kita split tim lagi jadi dua yang satu ke perbatasan Temajuk di Kecamatan Paloh dan satunya lagi di perbatasan Aruk di Kecamatan Sajingan Besar...Guide kami dari kantor sudah wanti-wanti dari awal kalau perjalanan paling berat ke Border Aruk...karena medannya cukup berat jadi kondisi fisiknya harus benar-benar fit...kebetulan dalam tim kami hanya ada satu cowok dan dari kemarin saya sendiri yang ingin ke border Aruk karena terinspirasi dari film "Tanah Surga katanya"... Pukul 09.15 dengan naik mobil double gardan kita siap menuju perbatasan Aruk...semula memang jalan aspal bagus tapi agak jauh jalan yang kami lewati sudah mulai rusak dan semakin jelek kondisi aspalnya. Setelah berjalan satu setengah jam sampailah kita di Desa Galing...kita berhenti untuk istirahat makan dan ngopi... Pukul 11.15 kita lanjutkan perjalanan lagi dengan kondisi jalan tanah berbatu...dan tersisa 70 km lagi perjalanan dengan kondisi jalan berbatu bergelombang dan rawan longsor, jembatan yang adapun jembatan kayu yang sangat sederhana meski masih cukup kuat untuk dilewati mobil...sepanjang perjalanan yang kita temui adalah hutan yang dibeberapa bagian tampak habis terbakar sebagai pola perladangan berpindah yang dilakukan suku dayak...tampak juga perkebunan sawit di tengah areal hutan yang merupakan kebun rakyat, beberapa rumah penduduk dan selebihnya adalah pemandangan alam yang cukup indah dan masih alami.

Kondisi jalan ke perbatasan Aruk

Setelah terguncang-guncang hampir selama dua setengah jam...akhirnya sampailah kita di rumah dinas Camat Sajingan... oh ya..kondisi jalan aspal halus baru kita temui 5 km menjelang perbatasan..dan begitu masuk kecamatan Sajingan mulailah tampak pemukiman penduduk, gereja, dan masjid. Dan hampir semua instansi pemda seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Balai Penyuluh Pertanian, Dinas Pendidikan, Pos Babinsa, Brimob, Puskesmas, Pos Imigrasi mempunyai kantor disitu hanya sayangnya beberapa diantaranya terlihat kosong tidak terawat.
Aktivitas perekonomian penduduk pun cukup bervariasi. Mata pencaharian utama masyarakat Sajingan sebagai petani karet, terdapat perkebunan karet rakyat disana, selain itu ada beberapa warung makan, toko kelontong, tempat cuci motor sampai bengkel juga ada. Cukup berkembang akan tetapi kita coba untuk flasback ke belakang sebelum terbukanya akses jalan dari Sajingan ke kota Sambas.
Menurut Camat setempat, dahulu Sajingan tidak seramai dan seberkembang sekarang. Sebelum terbuka akses jalan kehidupan masyarakat perbatasan sangat tergantung dengan negara tetangga kita Malaysia, kampung Biawak adalah kampung terdekat dengan Desa Aruk.
Setiap hari masyarakat kita pergi ke Biawak untuk berbelanja memenuhi kebutuhan hidup mereka atau sekedar untuk minum kopi, ketergantungan masyarakat desa Aruk tersebut terjadi selama bertahun-tahun karena memang pada saat itu kita bebas keluar masuk perbatasan tanpa diperlukan surat keterangan atau paspor.

Apa yang membuat kita sangat tergantung dengan Malaysia????....Malaysia menjadikan Biawak sebuah daerah perdagangan sehingga menarik masyarakat kita untuk berbelanja disana dengan harga yang lebih murah, terjangkau, dan mudah didapat. Karena jika mereka harus berbelanja ke Sambas atau Galing...jaraknya cukup jauh, mahal, dan aksesnya susah. Jadi kita tidak bisa serta merta menyalahkan mereka yang hidup di perbatasan yang lebih memilih ke Malaysia...Hal ini terjadi dalam kurun waktu sebelum tahun 1995. Kehidupan masyarakat Aruk pun masih sangat sederhana, rumah mereka adalah rumah papan dan mereka menyadap karet seperlunya saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada dari mereka untuk memproduksi lebih hasil karetnya.
Pembangunan ke daerah perbatasan Aruk mulai dilakukan sejak tahun 1996 yaitu dengan membuka akses jalan dari Sajingan ke kota kabupaten Sambas. Dengan terbukanya akses jalan tersebut masyarakat bisa memilih akan berbelanja kemana ke Sambas atau Biawak??...Efek positif lainnya warga mulai punya sepeda motor meskipun hanya sekitar lima orang pada mulanya. Berkembangnya pedagang semut yaitu menjajakan gula produksi Malaysia ke Indonesia yang harganya jauh lebih murah dibanding gula lokal. Petani karetpun bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan hasil karetnya, yang hasilnya dapat dilihat dari berubahnya rumah-rumah papan berganti dengan rumah tembok.
Kegiatan perekonomian terus meningkat, apalagi dengan dibukanya perbatasan Aruk secara resmi pada bulan Januari 2011, meski pada mulanya terdapat kendala karena masyarakat Sajingan tidak dapat dengan mudah ke Biawak jadi seakan kegiatan perekonomian disana terhenti. Akhirnya didapat sebuah solusi agar penduduk Sajingan dapat dengan mudah memperoleh kebutuhannya maka pedagang dari Biawak yang sudah mempunyai surat Imigrasi (buku merah) yang mengantar atau mensuplai kebutuhan barang di Sajingan. Maka jadilah Sajingan seperti sekarang ini, berbalik terbalik dengan yang terjadi di Biawak, sekarang daerah tersebut menjadi sepi yang satu dua toko saja yang buka.

 Toko-toko di perbatasan 

Seperti yang diketahui bahwa daerah perbatasan Sajingan ini merupakan daerah kawasan hutan hanya sebagian kecil saja yang sudah dilepaskan dari Kehutanan untuk menjadi kawasan budidaya (APL). Keberadaan status kawasan hutan ini sangat menganggu masyarakat yang notabene sudah lama mendiami tempat tersebut, sehingga mereka tidak bisa memperoleh hak milik atas tanahnya.
Disamping itu juga menghambat adanya investor yang akan masuk, menurut Camat setempat pada daerah tersebut akan dibangun perusahaan air minum dan budidaya ikan air tawar akan tetapi ijinnya terhambat oleh adanya status kawasan hutan (Kebijakan PIPIB). Tidak jauh dari dari Kantor Camat Sajingan barulah kita sampai di PPLB (Pos Pemeriksaan Lintas Batas) Aruk. Dalam perjalanan kesana kita melewati kawasan hutan lindung tapi sayangnya hutannya sudah gundul, dan beberapa perkebunan rakyat. Aktivitas PPLB Aruk tidaklah terlalu ramai terkesan sepi, hanya satu dua kendaraan yang melintas dan orang yang lalu lalang. Karena terkendala surat, kita hanya diperbolehkan masuk sampai wilayah netral batas Malindo.

Suasana PPLB Aruk 

Dalam Zona Netral 

Mari kita bandingkan dengan wilayah perbatasan di Entikong yang sangat ramai dengan kendaraan dan orang keluar masuk pos lintas batas, dibuka dari pukul 05.00 sampai 17.00 dan disana terdapat kantor perwakilan karantina hewan, tumbuhan, dan PU. Dengan jarak tempuh 6 jam dari Kota Pontianak, kondisi jalannya sudah bagus hanya sekitar 15 km kondisi jalannya banyak berlubang. Daerah Tebedu adalah wilayah Malaysia yang berbatasan dengan Entikong, Tebedu merupakan daerah industri jadi banyak TKI yang bekerja disana tetapi masih tinggal di Indonesia. Oh ya sebelum lupa di Entikong terdapat sebuah Rusunawa sebagai tempat tinggal dari para TKI tersebut, yang letaknya tidak jauh dari perbatasan. Di Tebedu terdapat beberapa toko swalayan yang ramai dikunjungi oleh orang Indonesia, perkampungan penduduk terdapat didaerah dalam. Semua jalan aspal kondisinya baik dan terawat (sangat berbeda dengan Indonesia...) dan Malaysia memang menjadikan Tebedu sebagai kawasan industri bukan untuk pemukiman karena mereka beranggapan daerah perbatasan daerah rawan konflik.

Suasana Perbatasan Entikong 

Kecamatan Entikong, sebelum perbatasan Entikong dibuka secara resmi daerah ini sangat ramai, orang Indonesia dan Malaysia bebas keluar masuk sampai batas kecamatan. Menurut Camat setempat, setelah dibukanya perbatasan orang Malaysia enggan datang ke Indonesia karena rumitnya birokrasi (banyaknya pemeriksaan...LIBAS, polisi, imigrasi) dan tentunya pungli...(sedih sekali rasanya)...Jadilah orang Indonesia yang rajin untuk kesana berbelanja tanpa menggunakan paspor atau surat sampai di wilayah Tebedu saja.
Melihat hal tersebut dalam benak saya muncul pertanyaan kapan ego sektoral itu yang sangat merugikan rakyat itu bisa hilang??? Sebaiknya pemerintah pusat lebih berkaca diri memperbaiki semua keadaan ini dengan duduk bersama demi masyarakat (rakyat Indonesia yang di perbatasan)...kesejahteraan masyarakat lebih penting dari sebuah kawasan hutan yang memang sudah beralih fungsi untuk rakyat yang tidak tahu dengan perdagangan karbon...(miris sekali melihatnya..) Temajuk, Aruk, Entikong, Jagoi Babang adalah daerah perbatasan yang sudah sepantasnya sebagai beranda atau pintu terdepan negara sudah ditata dengan apik dengan pembangunan yang cukup memadai. Aksesibilitas yang bagus, sehingga masyarakatnya lebih mencintai negeri sendiri bukan negara lain...

Jakarta, September 2012

Salam Perbatasan.

7 comments:

  1. Sungguh ironi kalo ngebahas masalah perbatasan negara kita, terutama dgn perbatasan malaysia. Pemerintah terlalu asyik dan fokus dgn pengembangangan daerah pusat dan mengabaikan daerah 'pinggiran'. Malaysia juga ga kalah cerdas, memanfaatkan peluang yang ada untuk mengambil hati para masyarakat daerah border dgn memberikan banyak kemudahan2 yg 'harusnya' Pemerintah berikan. Tapi repot juga di negara kita soalnya udah berbudaya UUD (Ujung-Ujungnya Duit). bak membawa balok es ke suatu tempat, diperjalanan es itu sedikit demi sedikit mencair, analogi yang sama juga berlaku untuk dana Pemerintah untuk daerah border,dana yang diterima tidak utuh,dgn dalih transportasi lah, surat menyurat lah, AH KLASIK!
    Solusinya mungkin Pemerintah harus benar-benar turun sendiri ke lapangan, biar tau seberapa berharganya daerah border, jangan tau2 patok udah bergeser, masyarakat sekitar pindah jd warga malaysia. Kalo terus2an dibiarkan lama2 wilayah Indonesia semakin sempit dong. Sudah saatnya Pemerintah 'mulai' memperhatiakan daerah border mengingat daerah tersebut masih merupakan aset negara yg perlu dipertahankan :D
    thanks buat mbak Ika yang udah berbagi cerita. Nice article. Allah Bless u ^^

    ReplyDelete
  2. thx commentnya...gemes bgt ngeliat negara ini yg sudah carut marut...tp biar gt i love indonesia...

    ReplyDelete
  3. Pengalaman yg menarik, kalo bisa sih jalan2 ke seluruh kecamatan perbatasan di Indonesia termasuk Papua...berani gk ya...

    ReplyDelete
  4. saya ada keluarga di aruk,cuma ngga tau jalan menuju kesana..membaca artikel ini membuat saya kangeng dengan paman yang di sana,,sudah puluhan tahun tidak ketemu,,jika ada waktu untuk ke sana lagi,saya sangat berminat ikut..

    ReplyDelete
  5. Saya pendatang dari Sekura, Kec. Teluk Keramat, Kab. Sambas yang kebetulan tinggal di Aruk,
    Sudah 10 tahun tugas mengajar di Kec. Sajingan Besar.
    Kondisi jalan sampai sekarang belum ada perubahan, ketika musim kemarau, debu dan kebakaran hutan menyebabkan mata perih, lebih lagi kalau musim hujan, sepanjang jalan berlumpur dan berlobang cukup dalam.
    Medan yang sulit tidak pernah menggoyahkan hati kami untuk mengajukan pindah sekolah, malahan keramahan penduduk masyarakat dayak disana membuat aku betah disana.

    ReplyDelete
  6. saya dan teman saya dari UNTAN juga kesana kemaen untuk mewawancarai guru tentang pendidikan yang ada disana, dan akan kita sampaikan ke pihak terkait saat ulang tahun PGRI

    ReplyDelete
  7. Saya warga Malaysia berharap dengan lawatan Presiden Jokawi ke Entikong dtp memperbaiki kemudahan sama seperti yg ada di perbatasan Malaysia. Sebagai Negara jiran kita sepatutnya bekerjasama untuk maju bersama kerana kesejahteraan Rakyat amat penting sekali. Sarawak mempunyai byk perbatasan dgn Indonesia selain Entikong, Biawak dgn Aruk dan Lubok Antu dgn Patisibau. Saya sarankan pak Presiden datang ke Serikin di bahagian Bau Sarawak dimana uniknya rakyat Indonesia berdagang di dalam wilayah Sarawak.

    ReplyDelete