Monday, October 1, 2012

PETANI, KEPEMILIKAN TANAH, DAN USAHA-USAHA UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETANI

Pertanian sebagai sektor utama dalam upaya pembangunan bangsa Indonesia sangatlah penting untuk diupayakan, sebagai negara agraris semestinya Indonesia bisa berswasembada pangan. Tetapi pada kenyataannya mulai beras, gula, bahkan tepung terigu pun dilakukan impor. Hal inilah yang menyebabkan sektor pertanian semakin terpuruk terutama petani yang sangat merasakannya, dimana harga-harga komoditas pertanian yang dihasilkan sangat rendah sehingga pendapatan mereka kecil dan kesejahteraan petani semakin menurun ditengah perkembangan dan pembangunan bangsa Indonesia. Berikut ini potret petani, struktur kepemilikan tanahnya, serta usaha-usaha pemerintah untuk membangkitkan lagi sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani melalui reforma agraria.  

Petani dan Pertanian
Petani adalah orang yang mata pencaharian utama dalam bidang pertanian. Dalam melakukan usaha taninya, petani terlibat dalam kegiatan yang sangat kompleks dan penuh resiko, karena semua usaha yang dilakukannya untuk mencapai hasil yang maksimal sangat tergantung dari alam yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Pada umumnya petani Indonesia sebagian besar hidup miskin. Hal ini dikarenakan akses penguasaan lahan yang digunakan untuk kehidupannya sangat rendah, dan ini sudah berlangsung lama mulai masa prakolonial hingga sekarang ini.
Program peningkatan produksi pertanian melalui program revolusi hijau dilakukan di Indonesia tahun 1960 an. Usaha ini berhasil mencapai swasembada beras selama 5 tahun tetapi karena adanya ketimpangan akses lahan, sistem pembangunan yang sentralistik sistem usaha tani yang menekankan asupan modern dari luar maka Indonesia menjadi pengimpor beras lagi. Dan nasib petani makin terpuruk karena tidak mendapat perlindungan dari pemerintah, sangat berbeda sekali keadaannya dengan petani yang ada negara-negara maju. Selain itu semakin berkurangnya lahan akibat konversi lahan pertanian untuk peruntukkan yang lain menyebabkan nasib petani semakin terpuruk. Kepemilikan atau penguasaan lahan sawah di Pulau Jawa sudah tidak ideal bagi petani untuk mengembangkan usaha tani karena hanya mempunyai lahan sempit yaitu kurang 0,5 Ha.
Seiring dengan perkembangan jaman dan perubahan pemikiran masyarakat di desa, banyak orang-orang di desa yang menginginkan kehidupan yang lebih baik mengingat penghidupan dari pertanian kurang menguntungkan, hasil tani tidak lagi mampu memberikan kehidupan yang layak bagi mereka. Jadi mereka tidak ingin anak cucunya menjadi petani seperti leluhurnya. Kebanyakan dari orang mudanya meninggalkan desa untuk merantau menjadi buruh di kota, dan bagi anak-anak muda yang mempunyai pendidikan formal mereka lebih memilih untuk bekerja dan hidup di kota tanpa pernah terpikir untuk kembali ke desa dan mengembangkan dan mencurahkan ilmu yang diperolehnya untuk kemajuan desanya.

Struktur pemilikan tanah
Ada tiga sistem kepemilikan tanah di desa yaitu tanah bondo desa, tanah bengkok, dan tanah milik rakyat (perseorangan). Dari ketiga sistem tersebut sudah tentu yang mempunyai kesempatan untuk memiliki dan mengelola tanah usaha tani hanyalah sebagian kecil dari petani yang kaya. Karena pertambahan penduduk yang sangat cepat dan pengaruh perekonomian uang yang masuk ke desa-desa maka terjadilah jual-beli dan sewa menyewa, sehingga pemusatan milik tanah dari satu pihak ke pihak lain menambah jumlah orang yang tidak memiliki tanah. Dan sistem sewa menyewa menyebabkan pemusatan penguasaan tanah pada orang yang kuat, sehingga jumlah petani miskin semakin banyak.
Berdasarkan pendekatan yang bersifat sosio-ekonomi-kultural yang dilakukan oleh LPIS (1974), maka masyarakat desa dibedakan menjadi tiga lapisan :
(1). Kelompok buruh tani, yaitu kelompok masyarakat desa yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga mendorong mereka untuk melakukan urbanisasi;
(2). Peasant, yaitu petani-petani kecil yang mengalami kesulitan dalam menghadapi petani-petani kaya;
(3). Farmers, yaitu petani-petani kaya yang lebih mempunyai kecenderungan untuk menanam kembali modalnya di dalam kegiatan usaha tani.

Program-program yang telah dilakukan oleh pemerintah yaitu introduksi bibit unggul, program Bimas, perbaikan prasarana pengairan, serta BUUD/KUD. Tetapi tetap saja usaha ini tidak dirasakan oleh kelompok penyakap murni atau buruh tani karena beratnya sistem penyakapan yang berlaku. Demikian juga fasilitas kredit melalui Bimas hanya dinikmati oleh Lurah dan keluarganya serta para petani kaya.
Dengan keadaan di atas kehidupan petani miskin atau buruh tani tetap tidak berubah karena mereka tidak sanggup menanggung resiko kegagalan panen, padahal penghasilannya amat bergantung pada tanah yang sempit itu. Karena adanya pengairan maka nilai tanahnya naik sehingga harga sewa tanah ikut naik juga, selain itu syarat penyakapan berubah ke arah yang lebih menguntungkan pemilik semakin memperlebar jurang antara petani miskin dan buruh tani dengan petani kaya. Akibat hal tersebut diatas para petani kecil dan buruh tani memberikan dua macam reaksi, yang pertama yaitu sikap antipati yang ditujukan kepada para petani kaya atau juragan, dan yang kedua adalah rasa solidaritas sesama lapisan bawah yang semakin kuat.
Solusi untuk mengatasi masalah pertanahan yang bersumber pada tekanan penduduk atas tanah adalah kenaikan produksi pertanian/land reform, industrialisasi, dan transmigrasi. Kebijakan pembangunan khususnya di sektor pertanian tanpa membedakan golongan serta pemahaman distribusi penguasaan tanah pertanian (konsep land reform).
Untuk mendukung usaha ini pemerintah dapat merangsang industri-industri di kota pindah ke desa. Dengan menyediakan lapangan kerja di luar usaha tani maka lapisan bawah ini tidak lagi tergantung pada usaha berkaitan dengan tanah, sehingga mereka memperoleh penghasilan yang tetap untuk menjamin masa depannya. Selain itu usaha ini bisa mengurangi arus urbanisasi ke kota.

Revitalisasi Pertanian Dan Upaya Perbaikan Penguasaan Lahan di Tingkat Petani 
Revitalisasi pertanian merupakan suatu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, karena selama ini petani hanya dianggap sebagai alat produksi dan pelengkap dalam pelaksanaan pembangunan. Revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan yang sejalan dengan upaya pengentasan kemiskinan merupakan salah satu dari tiga strategi yang digunakan untuk operasionalisasi konsep pembangunan.
Konsep revitalisasi pertanian mengandung arti keinginan atau upaya untuk menempatkan kembali sektor pertanian sebagai sektor penting dalam pembangunan baik secara proposional maupun kontekstual. Hal ini dimaksudkan untuk menyegarkan kembali vitalitas serta memberdayakan kemampuan serta kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Berupaya untuk membangun pertanian secara lebih partisipatif, sehingga diharapkan tumbuh komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder serta perubahan paradigma berpikir masyarakat dalam melihat pertanian.
Jadi pertanian bukan hanya sekedar urusan bercocok tanam, tetapi mempunyai multifungsi dan merupakan way of life serta sumber kehidupan sebagian besar masyarakat. Permasalahan yang dihadapi oleh program revitalisasi pertanian adalah sebagai berikut :
1. Lemahnya dasar penentuan target revitalisasi pertanian Lemahnya dasar yang digunakan dalam penetapan target, antara satu target dan lainnya terkadang tidak saling mendukung. Jumlah lahan pertanian sekarang ini tidak sesuai dengan jumlah tenaga kerja yang ada di bidang pertanian sehingga beban atau tekanan terhadap lahan sangat berat.
2. Kondisi lahan yang ada saat ini Lahan pertanian yang ada sekarang ini banyak mengalami konversi atau alih fungsi lahan pertanian. Banyaknya lahan terlantar yang tidak diusahakan secara optimal sesuai dengan potensinya. Sehingga terbatasnya lahan yang dapat diusahakan untuk usaha tani tidak saja mempersempit rata-rata luas penguasaan oleh petani tetapi juga makin menekan tingkat upah di pedesaan.

Usaha-usaha perbaikan yang dilakukan untuk perbaikan revitalisasi pertanian adalah melalui :
1. Reformasi agraria, dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan struktural penataan penguasaan dilakukan by design melalui suatu aturan hukum atau kebijakan pemerintah, dan pendekatan teknokratis dimana struktur penguasaan lahan tidak harus by design karena struktur penguasaan lahan bersifat dinamis dan surplus ekonomi tanah (land rent) akan menjadi penentu dalam pola alokasi antar sektor maupun antar individu dalam masyarakat.
2. Pengendalian konversi lahan pertanian dan pencadangan lahan abadi untuk pertanian.
3. Fasilitasi terhadap pemanfaatan lahan.
4. Penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan

Langkah-langkah yang mungkin dilakukan sekarang adalah memperbaiki penguasaan lahan di pedesaan, terutama pada petani berlahan sempit dan tak berlahan melalui penyempurnaan sistem bagi hasil yang ada terutama dalam hal kepastian lamanya waktu garap bagi penggarap.  

Reforma Agraria sebagai Solusi Pokok
Pembaruan agraria atau reforma agraria (agrarian reform) adalah suatu penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan menuju proses industrialisasi nasional.
Inti dari reforma agraria adalah landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah. Agar memberikan hasil seperti yang diharapkan, landreform yang didahului dengan redistribusi tanah harus diikuti dengan sejumlah program pendukung yang intinya akan memberikan kesempatan bagi para penerima tanah untuk meraih keberhasilan pada tahap-tahap awal dijalankannya program.
Karena itu, program redistribusi tanah harus diikuti dengan dukungan modal produksi (kredit usaha) di tahap awal, perbaikan di dalam distribusi barang-barang yang diperlukan sebagai input pertanian, perbaikan di dalam sistem pemasaran dan perdagangan hasil-hasil pertanian, penyuluhan-penyuluhan pertanian yang diperlukan untuk membantu para petani memecahkan masalah-masalah teknis yang dihadapinya, dan program lainnya yang pada intinya dapat menunjang keberhasilan para petani penerima tanah dalam berproduksi.
Pembaruan agraria yang kita maksud tidak hanya menyangkut landreform bagi kaum tani dan sebagai dasar pengembangan sektor pertanian semata, melainkan juga menyentuh upaya untuk menata ulang sistem penguasaan dan pengelolaan atas seluruh kekayaan alam secara mendasar dengan prinsip keadilan agraria.
Sektor-sektor kekayaan alam yang dimaksud mencakup kehutanan, perkebunan, pertambangan, perairan, pesisir, pulau-pulau kecil dan kelautan. Suatu perubahan agraria (agrarian changes) yang tidak didahului dengan upaya merombak tatanan atau struktur agraria yang timpang tidak memiliki makna apapun dari perspektif keadilan, kecuali yang terjadi hanyalah perubahan sosial itu sendiri. Padahal pembaruan agraria, orientasi utamanya adalah keadilan - yang sering diungkapkan dengan istilah keadilan agraria (agrarian justice), yaitu "suatu keadaan dimana relatif tidak ada konsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak dan terjaminnya kepastian hak penguasaan masyarakat setempat, termasuk hak masyarakat adat, terhadap tanah dan kekayaan alam lainnya."
Pembaruan agraria dapat dimaknai sebagai suatu perubahan mendasar di dalam hubungan-hubungan sosial dan politik yang berkait erat dengan sistem produksi, khususnya di pedesaan, yang dengan sendirinya meliputi perubahan-perubahan di dalam keseimbangan kekuasaan di antara kelas-kelas sosial yang berbeda di dalam masyarakat.
Dengan demikian, reforma agraria merupakan suatu dasar bagi perubahan sosial melalui penataan kembali tata kuasa terhadap tanah dan juga sumber daya alam lainnya dalam rangka pembangunan masyarakat. Kedaulatan pangan adalah perjuangan mendorong alokasi tanah kepada para petani dan lahan bagi tanaman pangan.
Sementara itu, rezim ketahanan pangan, akibat kepercayaannya pada pasar bebas, telah mendorong alokasi tanah kepada siapa yang mampu secara efektif dan efisien dalam hal permodalan dan teknologi memanfaatkan tanah. Sehingga, rezim ini secara langsung telah mendorong pengalokasian tanah untuk ditanami produk-produk komoditas ekspor non pangan. Sebagai misal, di Indonesia lahan-lahan lebih diutamakan untuk tanaman sawit, karet, dan kayu untuk menuai devisa dari ekspor ketimbang untuk tanaman pangan. Kalangan yang memperjuangkan terwujudnya kedaulatan pangan percaya bahwa jalan lapang menuju ke sana adalah dengan menjalankan pembaruan agraria (reforma agraria) yang sejati.

 Pembahasan
Petani di Indonesia yang dari jaman dahulu sampai sekarang merupakan lapisan masyarakat bawah terutama petani miskin dan buruh tani nasibnya tidak berubah dan semakin lama makin terpuruk. Tekanan pada tanah yang semakin berat dengan bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan semakin kecilnya pendapatan yang diperoleh oleh para petani, hal ini mendorong mereka untuk mencari pekerjaan lain dengan pergi ke kota sehingga terjadi arus urbanisasi yang sangat besar dan tanah-tanah pertanian ditinggalkan.
Tetapi hal ini juga tidak serta merta menaikkan pendapatan petani, karena luas kepemilikan tanah yang sempit maka produktivitas lahan rendah atau bahkan mereka lebih memilih untuk menyewakan tanah tersebut kepada orang lain karena tidak mempunyai modal untuk melakukan produksi karena tingginya biaya produksi pertanian yang tidak seimbang dengan hasil yang diperoleh pada saat panen nanti.
Hal lain yang dilakukan adalah mereka menjual tanahnya yang tidak seberapa tersebut kepada petani kaya yang lain sehingga di desa-desa banyak terjadi pemusatan kepemilikan tanah. Kemiskinan yang diderita petani adalah kemiskinan struktural, kemiskinan aset, yang tidak bisa dipecahkan hanya dengan langkah karitatif, seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau bantuan tunai bersyarat.
Besarnya jumlah rumah tangga miskin ini tidak bisa dipandang sebagai insiden, harus dipandang sebagai sesuatu yang bersifat struktural, dan perlu langkah- langkah struktural dan radikal guna mengatasinya. Tanpa itu, kemiskinan akan menjadi virus laten yang sulit diberantas. Kemiskinan petani, terutama petani padi, sudah terekam lama. Setelah krisis, nilai tukar petani terus merosot. Artinya, perbandingan harga yang diterima dan dibayarkan petani kian menurun.
Ini menjadi petunjuk, kesejahteraan mereka kian merosot dan miskin. Kini tingkat kemiskinan di pedesaan lebih tinggi sebelum krisis dan keadaan sebaliknya terjadi di perkotaan. Hal itu menandakan pengentasan kemiskinan di pedesaan lebih lamban. Kebijakan antipedesaan, seperti impor beras, penurunan harga pembelian gabah dan bea impor, hanya akan memperdalam tingkat kemiskinan. Yang diperlukan adalah beleid yang mempromosikan pedesaan (Khudori, 2007).
Revitalisasi pertanian yang diupayakan oleh pemerintah merupakan suatu langkah yang sangat bagus dari pemerintah untuk meningkatkan atau membangkitkan kembali sektor pertanian. Usaha yang dilakukan melalui industrialisasi di pedesaan diharapkan bisa memberikan nilai tambah dan daya saing hasil pertanian sehingga bisa meningkatkan pendapatan petani terutama di pedesaan.
Pengenalan suatu teknologi pada masyarakat desa memang tidak mudah diperlukan banyak penyuluhan dan sosialisasi sehingga mereka mengerti maksud dan tujuannya dan menghilangkan kesalahpahaman yang mungkin terjadi. Tetapi hendaknya tujuan ini benar-benar tulus untuk petani bukan sekedar sebagai obyek politik yang biasa dilakukan oleh partai tertentu. Produk-produk pertanian yang unggul sangat mempengaruhi keberhasilan revitalisasi pertanian.
Dengan mengembangkan pertanian organik diharapkan bisa menghasilkan produk yang bermutu dan bisa bersaing. Sama-sama disadari bahwa untuk untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan petani dan meningkatkan daya saing produk pertanian kita ada beberapa hal yang harus digali dan diupayakan seperti:
1) Dukungan sarana modal dan transportasi yang memadai;
2) Bantuan teknis dan pemasaran,
3) Peningkatan SDM Pertanian dan Pembinaan yang terus menerus kepada petani dan
4) Adanya sistem pengawasan mutu dan keamanan pangan produk pertanian sehingga mampu menghambat masuknya produk luar yang tidak bermutu dan sekaligus mendorong peningkatan ekspor produk pertanian kita.

Dalam rencana kerja Departemen Pertanian tahun 2005, peningkatan mutu dan keamanan pangan merupakan salah satu kegiatan pokok dari program peningkatan ketahanan pangan. Pemerintah menyadari bahwa pertanian organik merupakan satu pilihan dalam produksi pertanian yang memungkinkan usaha kecil Indonesia menjaga ketahanan pangan rumah tangga dan penghasilan yang cukup sambil meregenerasi tanah, memperoleh kembali keanekaragaman hayati, dan menyediakan pangan bermutu bagi masyarakat lokal.
Keuntungan-keuntungan dari pangan organik tersebut telah ditunjukkan oleh sistem pertanian organik yang beragam dan terintegrasi yang secara ekonomi layak, ramah lingkungan, dan meningkatkan budaya masyarakat. Skenario ini tampaknya hampir tidak realistis bagi orang yang tidak mempunyai pemahaman yang cukup tentang tujuan lingkungan, ekonomi dan sosial dari pertanian organik.
Tujuan-tujuan tersebut sangat relevan dengan masyarakat pedesaan Indonesia, dimana kemiskinan merupakan menyebab utama dari ketidaktahanan pangan yang kronis dan stress lingkungan yang tidak berkurang seperti degradasi tanah, susut tanah, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi tanah/air (Apriantono, 2007).
Hal lain yang mendukung revitalisasi pertanian yaitu multifungsi pertanian yaitu melihat fungsi pertanian baik secara internal maupun eksternal. Fungsi internal disini adalah pertanian sebagai penyedia bahan pangan, serat dan sandang, sedangkan fungsi eksternal adalah fungsi sebagai akibat adanya kegiatan pertanian tersebut seperti mengendalikan erosi dan pendangkalan badan sungai, mengurangi tumpukan sampah organik, memperbaiki iklim global, dan mengurangi resiko banjir.
Reforma agraria merupakan program besar pemerintah untuk menata penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah di Indonesia yang semakin timpang. Usaha ini juga sebagai upaya untuk mengendalikan konversi lahan pertanian yang sangat tinggi. Reforma agraria yang sudah pernah dilaksanakan oleh pemerintah pada tahun 1960 tidak memberikan hasil yang maksimal karena adanya perubahan politik di Indonesia reforma agraria menjadi surut kembali. Saat ini pemerintah mulai untuk melaksanakan program tersebut, dengan menyiapkan berbagai macam konsep sehingga program reforma agraria ini bisa berhasil.
Kompleksnya permasalahan dalam reforma agraria ini membuat rakyat menjadi pesimis akan tujuan pemerintah, rakyat mengharapkan bahwa kebijakan pertanahan yang dibuat pemerintah lebih memihak kepada petani miskin dan buruh tani. Pembagian tanah seluas + 2 hektar kepada petani untuk diusahakan sebagai lahan pertanian untuk dikelola secara modern sangat diharapkan, apalagi sekarang ini banyak lahan terlantar yang sebenarnya merupakan lahan produktif tapi dibiarkan begitu saja padahal banyak masyarakat miskin yang bisa memanfaatkannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Sumber-sumber agraria merupakan faktor penting dalam pembangunan pertanian. Oleh karenanya diperlukan jaminan kepastian hukum atas penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber agraria bagi rakyat. Untuk mewujudkan hal itu diperlukan "komitmen politik" yang sungguh-sungguh dari semua pihak untuk memberikan dasar dan arah reformasi agraria. Salah satu komitmen politik yang diperlukan ialah melakukan kaji ulang berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan agraria yang lebih berkeadilan.
Selanjutnya, pendataan agraria melalui inventarisasi dan registrasi atas penguasaan, pemilikan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber-sumber agraria secara komprehensif dan sistematis. Ditinjau dari sudut pandang kepentingan petani, langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam rangka penataan keagrariaan dan pertanahan adalah sebagai berikut :
Pertama, memberi kemudahan kepada petani untuk memperoleh tanah Negara secara mudah dan murah dengan didukung landasan hukum yang kuat;
Kedua, terjaminnya penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah pertanian yang adil bagi petani dengan batas minimum yang sesuai dengan skala ekonomi;
Ketiga, pengalokasian anggaran yang memadai untuk pembukaan areal-areal pertanian baru di luar Pulau Jawa, dan penyelesaian konflik-konflik agraria serta registrasi, inventarisasi dan pendataan tanah;
Keempat, terlaksananya prinsip tanah untuk petani dalam arti tanah harus dimanfaatkan sebagai faktor produksi pertanian dan tidak diperdagangkan atau menjadi obyek spekulasi;
Kelima, memberlakukan sistem perpajakan yang memberi insentif pada produktivitas lahan, dengan cara pengenaan pajak yang rendah pada lahan-lahan yang dikelola secara produktif, dan sebaliknya pengenaan pajak yang tinggi bagi lahan yang ditelantarkan (Zulfadhli, 2006).  

DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo S., Sunito A. Melanie, & Kolopaking M. Lala. 2008. Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan 80 tahun Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro. Penerbit Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor.
Apriantono, Anton. 2007. Pertanian Organik Dan Revitalisasi Pertanian (Pidato Pada Workshop dan Kongres II Maporina dengan tema yang cukup menantang yaitu: Menghantarkan Indonesia Menjadi Produsen Organik Terkemuka). Diambil tanggal 25 Oktober 2009. http://www.biotama.com/index.php?option=com_content&task=view&id=54&Itemid=1
Iskandar, Johan. 2006. Metodologi Memahami Petani dan Pertanian. Jurnal Analisis Sosial Vol. 11 No. 1 April 2006 Tantangan Masa Depan Petani Indonesia. Penerbit Akatiga. Bandung. Jamal, Erizal. 2006. Revitalisasi Pertanian dan Upaya Perbaikan Penguasaan Lahan di Tingkat Petani. Jurnal Analisis Sosial Vol. 11 No. 1 April 2006 Tantangan Masa Depan Petani Indonesia. Penerbit Akatiga. Bandung.
Khudori. 2007. Petani, Kemiskinan, dan Reforma Agraria. Kompas. http://www.opensubscriber.com/message/dpr.indonesia@yahoogroups.com/6291787.html. Diambil tanggal 19 Oktober 2009.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). 2009. Lahan Abadi Pertanian dan Reforma Agraria. Diambil tanggal 19 Oktober 2009. http://www.landpolicy.or.id/kajian/13/tahun/2009/bulan/01/tanggal/04/id/129/
Tjondronegoro M.P. Sediono, dan Wiradi, G. 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Zulfadhli, Ir. 2006. Tanah Untuk Petani. Diambil tanggal 19 Oktober 2009. http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Tanah-Untuk-Petani

No comments:

Post a Comment